Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Salaf’ Category

Beginilah Muslim Beretika

Agama Islam adalah satu-satunya agama yang mudah dan sempurna. Agama yang mencakup segala aspek kehidupan manusia baik duniawi ataupun ukhrawi. Agama Islam juga mengatur segala urusan seorang hamba, mulai dari urusan yang paling besar hingga urusan yang dianggap sepele.

Di antara masalah yang dianggap sepele oleh kebanyakan kaum muslimin adalah masalah buang hajat. Padahal kalau seseorang ingin mengetahui, niscaya dia akan mendapatkan masalah ini adalah masalah yang mendapat sorotan sekaligus perhatian yang sangat besar dalam agama Islam.

Pernah suatu ketika dikatakan kepada sahabat Salman Al Farisi Rodhiyallaahu ‘anhu: “Sungguh nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah buang hajat, ‘Maka Salman menjawab: ‘Benar sungguh beliau Sholallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kami ketika buang hajat dari menghadap kiblat, beristinja’ dengan tangan kanan, beristinja’ kurang dari tiga buah batu, serta beristinja’ dengan kotoran dan tulang” (Riwayat Muslim, Ibnu Majah, At-Tirmizi dan Abu Daud).

Bahkan Islam memperingatkan orang yang tidak menjaga kebersihan dan kesucian saat buang air kecil dengan adzab kubur, sebagaimana yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas Rodhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda, “Mereka berdua benar-benar sedang disiksa, dan keduanya tidaklah disiksa karena dosa besar, salah seorang di antara keduanya tidak cebok ketika buang air dan yang lainnya suka menyebarkan kata-kata untuk mengadu domba,” lalu Nabi mengambil pelepah kurma yang masih basah dan membelahnya menjadi dua bagian lalu beliau menancapkan satu bagian pada masing-masing kuburan, para sahabat bertanya: Wahai Rosulullah, mengapa engkau lakukan hal itu? beliau menjawab: “Semoga itu bisa meringankan siksa dari keduanya selama pelepah itu belum mengering.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Namun, sungguh sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin sembarangan saat buang hajat dan tidak beristinja’ (cebok) hingga badan dan pakaiannya terkena najis, hingga sholat mereka tidak sah, karena salah satu syarat sahnya sholat seseorang adalah bebas dari hadats dan najis.

Karenanya, bagaimanakah tuntunan agama Islam yang benar dalam masalah buang hajat? Agar ia dapat menjaga diri dari najis?

Di sini, kami akan sedikit memaparkan etika membuang hajat dalam tiga pembahasan:

Pertama: Hal-hal yang harus diperhatikan oleh orang yang hendak buang hajat.

1. Hendaknya ia mencari tempat yang sepi dari manusia dan jauh dari penglihatan mereka.

Dari Jabir Rodhiyallaahu ‘anhu berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan safar, dan jika Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallam hendak buang air besar, maka beliau pergi hingga tidak dilihat oleh siapapun” (Riwayat Ibnu Majah dan Abu Daud)

2. Tidak membawa masuk sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan seperti halnya mushaf (Al-Qur’an), karena diriwayatkan bahwa Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallam mengenakan cincin yang ada tulisan “Rasulullah” namun jika masuk WC beliau melepasnya. (Riwayat At-Tirmizi dan ia menshahihkannya)

3. Disunnahkan bagi orang yang hendak masuk WC membaca doa:

“Bismillaahi Allaahumma inni ‘audzubika minal khubutsi wal khobaits”

“Dengan nama Allah sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari syetan laki-laki dan syetan wanita”

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca doa di atas jika hendak masuk WC.

4. Disunnahkan mendahulukan kaki kiri ketika masuk WC.

5. Hendaknya tidak mengangkat pakainnya sampai dekat dengan tanah.

Dari Ibnu Umar Rodhiyallaahu ‘anhu: “Bahwasanya Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak buang hajat beliau tidak mengangkat pakainnya sampai dekat dengan tanah” (Riwayat Abu Daud dan At-Tirmidzi)

6. Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang air kecil atau besar, karena Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah kalian menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya ketika buang air besar atau kecil.” (Muttafaq ‘Alaih)

7. Haram hukumnya membuang hajat di jalan yang dilalui manusia atau di tempat berteduh mereka.

Dari Abu Hurairah Rodhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Takutlah kalian terhadap dua hal yang mendatangkan laknat, para sahabat bertanya: “Apa dua hal yang dapat mendatangkan laknat itu wahai Rasulullah”? beliau menjawab: “Yaitu orang yang buang hajat dijalanan manusia atau ditempat berteduh mereka.” (Riwayat Muslim dan Abu Daud)

8. Diharamkan buang air kecil di air yang menggenang (tidak mengalir)

Dari Jabir Rodhiyallaahu ‘anhu dari Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallam, “Bahwasanya beliau melarang buang air kecil ditempat tergenangnya air.” (Riwayat Muslim)

Kedua: tentang Istinja’ (cebok):

1. Wajibnya beristinja’ (cebok) dari buang air kecil

Dari Ibnu Abbas Rodhiyallaahu ‘anhu Bahwa Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati dua buah kubur kemudian bersabda, “Mereka berdua benar-benar sedang disiksa, dan keduanya tidaklah disiksa karena dosa besar. Salah seorang diantara keduanya tidak melindungi diri ketika buang air dan lainnya suka menyebarkan kata-kata untuk mengadu domba.” (Muttafaqun ‘Alaih)

2. Tidak beristinja’ dengan tangan kanan serta tidak boleh menyentuh kemaluan dengan tangan kanan, karena Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya dengan tangan kanan dan tidak cebok dari WC (buang air besar) dengan tangan kanan.” (Muttafaq ‘Alaih)

3. Diperbolehkan cebok dengan air atau batu ataupun semisalnya, sedangkan air lebih utama. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Rodhiyallaahu ‘anhu, dia berkata:

“Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk kakus (WC), lalu aku dan anak muda sebayaku membawakan kantong kulit berisi air dan tombak kecil, lalu beliau membersihkan kotoran dengan air.” (Muttafaq ‘Alaih)

Aisyah Rodhiyallaahu ‘anha bertutur, Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian hendak pergi ketempat buang hajat (kakus) maka pergilah dengan membawa tiga batu, lalu bersihkanlah kotoran dengannya karena itu sudah mencukupinya.” (Riwayat An-Nasa’i dan Abu Daud)

4. Melakukan istinja’ (cebok) dengan ganjil, misalnya beristinja’ dengan tiga buah batu. Jika merasa belum bersih, maka dengan lima  buah batu, karena Salman Rodhiyallaahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil, atau kami beristinja’ dengan tangan kanan, atau kami beristinja’ dengan batu kurang dari tiga, atau kami beristinja’ dengan kotoran hewan dan tulang.” (Riwayat Muslim)

5. Tidak beristinja’ dengan kotoran hewan dan tulang, karena Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa salam bersabda:

“Janganlah kalian beristinja’ dengan kotoran hewan dan tulang, karena keduanya adalah bekal makanan saudara-saudara kalian dari kalangan jin.” (Muttafaq ‘Alaih)

Juga tidak beristinja’ dengan apa saja yang didalamnya terdapat manfaat, seperti pohon rami yang bisa digunakan, atau daun dan lain sebagainya. Juga tidak beristinja’ dengan sesuatu yang bernilai, seperti sesuatu yang dimakan, karena meniadakan sesuatu yang berguna itu haram hukumnya.

6. Jika ingin menggunakan air dan batu, maka terlebih dahulu menggunakan batu kemudian air. Jika cukup dengan salah satunya maka diperbolehkan, hanya saja air itu lebih baik. Karena ‘Aisyah Rodhiyallaahu ‘anha berkata, “Perintahkan suami-suami kalian beristinja’ dengan air, karena aku malu kepada mereka, dan karena Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallam terbiasa berbuat seperti itu.” (Riwayat At-Tirmidzi dan ia menshahihkannya)

Ketiga: Pasca buang hajat.

1. Keluar dari kakus (WC) dengan mendahulukan kaki kanan, karena Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallam membiasakan berbuat seperti itu.

2. Membaca doa:

“Ghufroonaka”

“Ya Allah ampunilah aku.”

Dari ‘Aisyah Rodhiyallaahu ‘anhu berkata: “Adalah Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar dari WC beliau membaca doa: ‘Ghufroonaka’ (Ya Allah ampunilah aku). (Riwayat Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Itulah etika buang hajat yang diajarkan oleh Islam yang mencintai kebersihan dan kesucian. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.” (Al Baqarah: 222)

Dalam ayat ini terdapat syariat thaharah (kebersihan) secara absolut (mutlak), karena Allah Subhanahu wa ta’ala menyukai orang yang tersifati dengannya, dan juga karena bersuci merupakan syarat sahnya shalat, thawaf dan bolehnya memegang mushaf.

~Disalin dari: Majalah El Fata Edisi 04 Volume 7 Tahun 2007 Hal. 25-27~

Read Full Post »

Sabar Menghadapi Ujian

Dunia adalah negeri cobaan. Manusia senantiasa diuji dan diberikan cobaan, baik berupa musibah atau kesenangan. Cobaan kesenangan dan kemudahan membutuhkan sikap bersyukur. Syukur atas nikmat kesenangan ini termasuk ketaatan yang juga membutuhkan kesabaran. Sehingga tidak bisa bersyukur kecuali dengan sabar dalam melaksanakan ketaatan.

Ibnul Qayyim menyatakan dalam kitab ‘Idatush Shobirin, “Semua yang dijumpai seorang hamba di dunia ini tidak lepas dari dua jenis. Pertama yang sesuai dengan hawa nafsu dan kehendaknya dan kedua yang menyelisihinya. Ia butuh kepada sabar dalam keduanya. Adapun jenis yang sesuai dengan keinginannya seperti sehat, keselamatan, memperoleh jabatan dan harta serta beraneka ragam kelezatan yang mubah. Ini lebih butuh kepada sabar dari beberapa sisi:

  1. Tidak bergantung dan terpedaya dengannya serta tidak membuatnya sombong dan berprilaku tercela yang tidak Allah sukai.
  2. Tidak tenggelam dalam mencarinya dan berlebihan dalam mencapainya, karena bisa berubah menjadi sebaliknya. Siapa yang berlebihan dalam makan, minum dan jima’ maka akan berbalik dan diharamkan makan, minum dan jima’ tersebut.
  3. Bersabar dalam menunaikan hak Allah pada kenikmatan tersebut dan tidak menyia-nyiakannya hingga Allah mencabutnya.

Demikian juga bila diuji dengan musibah dan cobaan kesulitan, maka dibutuhkan kesabaran dalam menghadapi takdir Allah dengan ridha dan menerimanya. Sehingga tepatlah bila dikatakan sabar selalu dibutuhkan setiap insan sampai meninggalkan dunia ini.

Di zaman kiwari ini, ketika Indonesia terus menerus diuji dengan musibah yang silih berganti, belum lagi yang menimpa pribadi dan individu masyarakat maka kita harus lebih banyak bersabar lagi.

UJIAN ALLAH DAN SIKAP MANUSIA

Allah berfirman,

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”(Al Baqarah:155)

Demikianlah, Allah menguji hambaNya dengan hal-hal berikut:

  1. Sedikit ketakutan dan tidak seluruhnya.
  2. Kelaparan yang dapat dipahami dalam dua makna: a. Penyakit lapar yaitu penyakit yang menimpa seseorang yang tidak pernah kenyang walaupun telah makan banyak; b. Kelaparan karena kekurangan pangan disebabkan kemarau panjang dan tidak adanya panen.
  3. Kekurangan harta berupa kemiskinan
  4. Kekurangan jiwa berupa kematian
  5. Kekurangan buah-buahan

Orang dalam menyikapi hal ini ada beberapa tingkatan:

  1. Marah dan murka. Hal ini dapat terjadi dengan hati, lisan atau anggota tubuh. Marah dengan hati berupa adanya ketidaksukaan terhadap Allah seperti merasa Allah telah mendzaliminya dan sebagainya. Marah dengan lisan berupa mencela takdir atau mencela waktu dengan lisannya. Sedangkan marah dengan anggota tubuh dilakukan dengan cara misalnya memukul pipi, menjambak rambut atau merobek-robek pakaiannya. Orang yang demikian tidak mendapatkan pahala atas musibah tersebut bahkan mendapatkan dosa.
  2. Bersabar dengan menahan diri, tidak mengucapkan dan berbuat sesuatu yang dimurkai Allah dan tidak ada di hatinya perasaan menyalahkan Allah, walaupun ia tidak menyukai musibah tersebut. Orang seperti ini mendapatkan pujian dari Allah dalam firman-Nya, “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaiut) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al Baqarah: 155-157)
  3. Ridha dengan lapang dada menerima musibah tersebut dan meridhainya seakan-akan tidak terkena musibah. Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan sabar di atas.
  4. Bersyukur dengan memuji Allah atas musibah tersebut. Seperti dicontohkan Rasulullah Sholallaahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ‘Aisyah beliau berkata, “Rasulullah sholallaahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat apa yang ia sukai menyatakan, “Alhamdulillah Alladzi bini’matihi Tatimmu Al Shalihaat dan bila melihat (mendapati) sesuatu yang tidak beliau sukai mengucapkan: Alhamdulillahi ‘Ala Kulli Halin.” (Riwayat Ibnu Majah dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ no. 4727). Mensyukuri Allah karena Allah memberikan pahala atas musibah tersebut lebih banyak dari yang menimpanya.

Kapan Dikatakan Sabar

Seseorang dikatakan telah sabar menerima musibah apabila telah melakukan hal-hal berikut:

  1. Tidak ada di hatinya perasaan buruk sangka kepada Allah dan takdirnya.
  2. Amalannya tidak melakukan perbuatan yang dilarang Allah.
  3. Lisannya tidak mencela Allah, takdirnya atau masa, bahkan lisannya mengucapkan: Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi  Raji’un sebagaimana dalam ayat di atas. Akan lebih baik lagi bila ditambah dengan do’a yang diajarkan Rasulullah kepada kita dalam hadits Ummu Salamah:

Aku telah mendengar Rasulullah sholallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah lalu menyatakan apa yang Allah perintahkan: Innaa lillahi Wa inna Ilaihi Raji’un Allahumma’Jurni fi mushibatie wa Akhlif li Khoiran minha. Kecuali Allah gantikan baginya yang lebih baik.” (Riwayat Muslim).

Mudah-mudahan kita mendapatkan tingkatan tertinggi dari tingkatan sabar dan paling tidak kita masih ditetapkan sebagai orang yang sabar. Selamat berlatih sabar!

Disalin dari:

~ Majalah El Fata No. 10 Volume 06 2010 Hal. 42-43 oleh Al Ustadz Khalid Syamhudi, Lc ~

Read Full Post »

1. Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut.

2. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengan dan melihat.

(QS Al-Insan/76 : 1-2)

Ketahuilah, sesungguhnya surat Al-Insan ini memiliki kandungan yang sangat menakjubkan meski ringkas. Allah Subhanahu wa ta’ala memulainya dengan penyebutan penciptaan manusia dari nuthfah (hasil pembuahan antara sel telur lelaki dan wanita) yang bercampur. Dengan kekuasaan, kelembutan dan hikmah-Nya, Allah menciptakannya melalui beberapa fase; mengalihkannya dari keadaan satu ke keadaan berikutnya, sampai akhirnya proses penciptaan tersebut tuntas, bentuk dan rupanya sempurna. Selanjutnya, Allah mengeluarkannya sebagai manusia yang sempurna, bisa mendengar lagi melihat.

Begitu daya tangkap dan penalarannya beranjak sempurna, Allah menunjukinya kepada dua jalan. Yaitu jalan kebaikan dan kejelekan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS Al-Insan/76:3).

Berikutnya, Allah Subhanahu wa ta’ala mengemukakan tempat kesudahan orang-orang yang bersyukur dan orang-orang yang kufur, serta apa-apa yang disediakan bagi masing-masing golongan itu.

Allah memulai dengan memaparkan kesudahan orang-orang kafir (secara global) dan diiringi dengan penjelasan kesudahan orang-orang yang bersyukur. Dan di penghujung surat ini, Allah menyebutkan orang-orang yang meraih rahmat terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan keterangan orang-orang yang ditimpa siksa.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya (surga). Dan bagi orang-orang zhalim disediakan-Nya adzab yang pedih.” (QS Al-Insan/76:31).

Jadi, Dia memulai surat ini dengan fase pertama manusia, yaitu nuthfah, dan mengakhiri surat Al-Insan dengan menyebutkan keadaan fase penghujung kehidupannya. Yaitu, menjadi yang meraih rahmat atau tertimpa siksa.

Di tengah-tengah ayat, Allah menyebutkan amal perbuatan dua golongan tersebut. Mengenai orang-orang yang ditimpa siksaan, Allah menyebutkan secara global dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala.” (QS Al-Insan/76:4).

Ayat diatas diiringi dengan menceritakan amal perbuatan orang-orang yang mendapat rahmat-Nya dan balasan kepada mereka secara detail.

Jadi, dalam surat ini, mengandung dua klasifikasi anak Adam. Mereka itu, menjadi golongan kiri -yaitu kaum kuffar- dan golongan kanan yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu golongan abrar (orang-orang yang berbuat kebajikan) dan muqarrabun (orang-orang yang didekatkan kepada Allah).

Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan, minuman kaum al abrar dicampur dengan minuman para hamba Allah dari kalangan muqarrabun, minuman mereka adalah minuman yang murni, sebagaimana mereka telah memurnikan amalan-amalan mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan minuman orang-orang muqarrabin dari bahan kafur, yang mengandung unsur kesejukan dan kekuatan, sesuai dengan kesejukan keyakinan dan kekuatan yang mengendap di dalam hati mereka dan menembusnya saat berada di dunia, disamping usaha mereka untuk menjauhkan diri dari Neraka Sa’ir.

Allah Subhanahu wa ta’ala memberitahukan (juga), bahwa bagi mereka minuman lain yang bercampur dengan zanjabil (jahe), karena aromanya yang sedap dan kelezatan cita-rasanya, serta kehangatan yang akan merubah dinginnya kafur dan melarutkan kotoran-kotoran dan membersihkan rongga-rongga (tubuh).

“Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe.” (QS Al-Insan/76:17).

Karena itu Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutnya sebagai ma’an thahura. Artinya minuman yang membersihkan lambung-lambung mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan sebutan kepada mereka dengan keelokan fisik dan batin. Allah berfirman: “[dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (QS Al-Insan/76:11).

(An-nadhrah, kejernihan) merupakan sifat keelokan pada wajah mereka. Sedangkan surur (keceriaan hati), adalah keindahan hati-hati mereka. Seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.” (QS Al-Muthaffifin/83:24).

Kemudian, Allah Subhanahu wa ta’ala menyampaikan sebagian amal perbuatan kalangan al abrar yang mengisyaratkan kepada yang mendengarnya, bahwa mereka telah mengumpulkan seluruh amal-amal baik. Allah menyebut sifat mereka yang memenuhi nadzar. “Mereka yang menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (QS Al-Insan/76:7).

Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat menepati nadzar yang merupakan kewajiban tingkat terendah. Lantaran manusialah yang mewajibkannya atas dirinya sendiri (bukan Allah). Tingkatannya di bawah kewajiban yang Allah gariskan kepadanya. Bila manusia telah memenuhi kewajiban yang paling lunak di antara dua kewajiban yang ia pegangi itu, sudah tentu dan pasti ia akan lebih memperhatikan untuk menjalankan kewajiban yang lebih agung yang telah Allah wajibkan atas dirinya.

Dari sini, sejumlah ahli tafsir menyatakan, kalangan muqarrabun telah menepati ketaatan kepada Allah dan menjalankan hak-Nya yang menjadi kewajiban mereka. Demikian ini, karena jika seorang hamba telah mengikrarkan sebuah nadzar bagi Allah sebagai amalan ketaatan, lantas memenuhinya, berarti ia menjalankannya semata-mata hanya lantaran telah menjadi hak milik Allah yang wajib ia tunaikan. Hak ini berada dalam lingkup hak-hak Allah, sama dengan yang lain.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala memberitahukan diantara sifat mereka yang lain yaitu takut kepada hari yang penuh kesulitan, yakni hari Kiamat. Ketakutan mereka pada hari Kiamat nampak dari keimanan mereka kepada hari Akhir, pengekangan diri dari berbuat maksiat yang akan mendatangkan malapetaka, pelaksanaan amal-amal ketaatan yang bermanfaat bagi mereka dan sebaliknya, mereka pun meninggalkan perbuatan yang akan berbuah mudharat bagi mereka. “Dan kepada mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS Al-Insan/76:8).

Berikutnya (pendapat di atas), Allah Subhanahu wa ta’ala memberitahukan karakter mereka yang suka memberi makanan kepada orang lain, meskipun mereka begitu menyukainya. Sesuatu yang sedemikian penting dan besar nilainya, dapat menyebabkan jiwa manusia menjadi pelit, hati merasa sangat membutuhkannya, tangan ingin mendekapnya seerat mungkin. Ini menjadi pertanda, betapa besar dan berharganya kebutuhan mereka terhadap makanan itu. Sehingga, jika mereka telah mengorbankannya dalam kondisi seperti itu, berarti ini menunjukkan mereka lebih mudah dalam memenuhi hak sesama.

Jadi, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan sebagian hak-hak sesama yang dipenuhi (oleh mereka), secara konkret dalam bentuk memberi bahan makanan pokok, kendatipun sangat bernilai dan sangat dibutuhkan (oleh diri mereka sendiri), guna mengingatkan pemenuhan yang mereka jalankan kepada perkara-perkara lain yang tingkatannya lebih rendah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala mengemukakan sebagian pelaksanaan hak-hak-Nya oleh mereka melalui pemenuhan nadzar, guna mengarahkan perhatian kepada pemenuhan kewajiban yang lebih tinggi dan lebih wajib.

Allah Subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan dengan firman Allah ‘Alaa hubbihii (yang disukainya) sebuah realita. Yakni, seandainya Allah Subhanahu wa ta’ala bukan dzat yang lebih mereka cintai dari makanan pokok itu, sudah tentu mereka tidak akan mengutamakan Allah Subhanahu wa ta’la dibandingkan apa yang mereka sukai. Ternyata mereka lebih mendahulukan kecintaan terhadap yang lebih tinggi ketimbang kecintaan kepada obyek yang lebih rendah (makanan).

Pos distribusi makanan mereka adalah orang-orang miskin, anak yatim, tawanan yang tidak ada kekuatan bagi mereka untuk menolong orang-orang tersebut, tiada kekayaan untuk menopang hidup orang-orang itu, tidak ada keluarga, kerabat yang mereka tunggu-tunggu dari orang-orang itu untuk memberi balasan sebagaimana dituju oleh para pemuja dunia yang mencari timbal-balik melalui infak dan pemberian makanan.

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS Al-Insan/76:9).

Allah Subhanahu wa ta’ala memberitahukan bahwa mereka berbuat itu semua karena wajah Allah, tidak mengingingkan balasan dari orang-orang yang menerima makanan dari mereka, baik berupa materi dunia maupun sanjungan manusia; tidak seperti tujuan orang-orang yang tidak memiliki keikhlasan yaitu dengan menyebarluaskan kebaikan-kebaikan kepada manusia untuk mencari pamrih, atau ungkapan terima kasih dari manusia. Jadi, sifat ikhlas mencerminkan sifat mahabbah (cinta), ikhlas dan ihsan kaum Abrar.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang kejujuran mereka yang sudah dibuktikan Allah sebelum mereka berkata:

“Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (QS Al Insan/76:10).

Allah Subhanahu wa ta’ala telah mempercayainya sebelum mereka menyampaikan pengakuan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Mereka  menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS Al Insan/76:7).

Allah Subhanahu wa ta’ala mengemukakan, sesungguhnya mereka telah dipelihara oleh Allah dari keburukan yang mereka takutkan. Allah menjaga mereka dengan perlindungan yang melebihi dari apa yang mereka angankan.

“Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (QS Al Insan/76:11).

Ayat-ayat selanjutnya, yaitu surat Al Insan/76 ayat 12-20 menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang sudah Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada mereka berupa tempat tinggal, pakaian, tempat-tempat duduk, buah-buahan, para pelayan, kenikmatan hidup dan kerajaan (kekuasaan) yang besar.

Lantaran titik fokus kesabaran adalah pengekangan jiwa dan penggencetannya dengan perkara keras yang akan dirasakan oleh fisik dan batin berupa kelelahan, keletihan dan kepanasan. Maka, balasannya adalah surga dengan berbagai kenikmatannya, sutra yang penuh kelembutan lagi halus dan cara duduk bersandar yang menunjukkan kenyamanannya, serta naungan yang melindunginya dari panas.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera, di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan. Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak, dan piala-piala yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukir mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan Salsabil. Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan. Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. (QS Al Insan/76:12-20).

Warna pakaian yang dipakai oleh kalangan al abrar adalah kain sutra halus yang berwarna hijau dan kain sutra yang tebal. Perhiasan yang mereka kenakan ialah gelang-gelang dari perak. Ini semua merupakan atribut keindahan secara zhahir. Sedangkan keindahan batin mereka berupa syarab thahur, yaitu bermakna minuman yang mensucikan.

“Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal, dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Rabb memberikan kepada mereka minuman yang bersih.” (QS Al Insan/76:21).

“Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan).” (QS Al Insan/76:22).

Demikianlah, Allah mengabarkan, bahwa itu semua merupakan balasan terhadap usaha-usaha mereka, yaitu golongan al abrar dan muqarrabin yang harus disyukuri. Jadi, Allah menyebutkan usaha yang dihargai dan perbuatan yang dimurkai.

~Disalin dari: Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007 M Hal. 10-13~

Read Full Post »

Setelah menikahi Khadijah dan dikarunia beberapa orang anak, Allah menjadikan Muhammad sholallaahu ‘alaihi wa sallam menyukai khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai daripada menyendiri. Untuk apa?

Beliau menggunakan waktu untuk beribadah kepada Allah di gua Hira’ sebulan penuh tiap tahunnya. Beliau tinggal di dalamnya beberapa malam dengan bekal yang sedikit dan jauh dari perbuatan sia-sia yang dilakukan orang-orang Mekah yakni menyembah berhala dan lain-lain.

MEMBANTU SUAMI MENGEMBAN TUGAS SUCI

Khadijah tidak merasa tertekan dengan tindakan Muhammad sholallaahu ‘alaihi wa sallam yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna, bahkan beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan cara menjaga dan menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan di rumah.

Apabila suaminya pergi ke gua, kedua mata beliau senantiasa mengikuti suaminya terkasih dari jauh. Bahkan beliau juga menyuruh orang-orang untuk menjaga beliau tanpa mengganggu suaminya yang sedang menyendiri. Hingga akhirnya suaminya diangkat menjadi rasul.

Khadijah adalah orang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali masuk Islam. Beliau adalah seorang istri yang mencintai suaminya dan juga beriman, berdiri mendampingi Nabi sholallaahu ‘alaihi wa sallam, suami yang dicintainya untuk menolong, menguatkan, dan membantunya, serta menolong beliau dalam menghadapi kerasnya gangguan dan ancaman, sehingga dengan hal itulah Allah meringankan beban Nabi-Nya.

Tidaklah beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan beliau, kecuali Allah melapangkannya melalui istrinya bila beliau kembali ke rumahnya. Khadijah meneguhkan pendiriannya, menghiburnya, membenarkannya dan mengingatkan bahwa celaan manusia pada beliau tidak ada artinya.

Sejak saat itu Rasulullah memulai lembaran hidup baru yang penuh berkah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada istrinya yang beriman bahwa masa untuk tidur dan bersenang-senang telah habis. Khadijah turut mendakwahkan Islam di samping suaminya. Di antara buah yang pertama adalah keislaman Zaid bin Haritsah dan juga 4 putrinya.


MENGHADAPI PERMUSUHAN KAUM MUSYRIK

Mulailah ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan berbagai macam bentuknya, akan tetapi Khadijah tetap berdiri kokoh. Walau Allah memilih kedua putranya yang bernama Abdullah dan Al-Qasim untuk menghadap-Nya tatkala masih kanak-kanak, Khadijah tetap bersabar.

Beliau juga melihat dengan mata kepalanya bagaimana syahidah pertama bernama Sumayyah tatkala menghadapi maut karena siksaan para thaghut, hingga jiwanya menghadap sang Pencipta dengan penuh kemuliaan.

Beliau juga harus berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri Utsman bin Affan, karena putrinya hijrah ke negri Habsyah untuk menyelamatkan agamanya dari gangguan orang-orang musyrik. Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan, akan tetapi tidak ada istilah putus asa bagi seorang mujahidah.

Sebelumnya, beliau juga telah menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa suaminya di saat beliau dakwah di jalan Allah, namun beliau menghadapi segala musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian, semakin bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Beliau campakkan seluruh bujukan kesenangan dunia yang menipu yang hendak ditawarkan dengan aqidahnya.

Begitulah, Khadijah telah mengambil suaminya sebagai contoh yang paling agung dan tanda yang paling nyata tentang  keteguhan di atas iman. Tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka kepada kaum muslimin, Khadijah tak ragu bergabung dengan kaum muslimin dan beliau tinggalkan kampung halaman tercinta untuk menempa kesabaran selama 3 tahun bersama Rasulullah sholallaahu ‘alaihi wa sallam menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan, dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala.


KEPERGIAN BELIAU

Hingga berakhirlah pemboikotan yang telah beliau hadapi dengan iman, tulus dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh Khadijah telah mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di saat berumur 65 tahun. Selang 6 bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusul pula Khadijah, yakni 3 tahun sebelum hijrah.

Dengan wafatnya Khadijah maka meningkatlah musibah yang dihadapi Rasulullah sholallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebab bagi beliau, Khadijah merupakan teman yang tulus dalam memperjuangkan islam.

Begitulah, Khadijah telah pergi menghadap Rabb-nya sampai pada waktu yang telah ditetapkan, setelah beliau berhasil menjadi teladan terbaik dan paling tulus dalam berdakwah di jalan Allah dan berjihad di ujian-Nya. Beliau menjadi seorang istri yang bijaksana yang mampu meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya, dan mencurahkan segala kemampuannya untuk mendatangkan keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah beliau berhak mendapatkan salam dari Rabb-nya dan mendapat kabar gembira dengan rumah di surga. Karena itu pulalah Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imron, sebaik-baik wanita adalah Khadijah binti Khuwailid.”

Mengingat begitu agung kepribadian akhlak Khadijah, sudah semestinya jika para muslimah menjadikannya sebagai teladan. Setia pada suami di kala sedih maupun bahagia.


~Disalin dari : Majalah Nikah Vol. 5 No, 2, Mei 2006 Hal. 76-77~

Read Full Post »

Agar bisa terlaksana dengan baik, suatu kegiatan haruslah melalui proses persiapan terlebih dahulu. Dalam olahraga misalnya, kita sangat tidak dianjurkan untuk melakukan suatu aktivitas olahraga tanpa suatu pemanasan. Suatu kendaraan bermotor pun perlu pemanasan terlebih dahulu sebelum digunakan. Sholat jika ditinjau sebagai suatu aktivitas fisik juga memerlukan persiapan alias pemanasan.

Pemanasan dan Manfaatnya

Sebelum membicarakan pemanasan sebelum sholat, kita perlu mengetahui pemanasan dan manfaatnya dalam kegiatan fisik.

secara umum, pemanasan didefinisikan sebagai gerakan-gerakan persiapan tubuh untuk melakukan kegiatan yang lebih berat dengan cara latihan-latihan sederhana sebelum melakukan kegiatan yang lebih berat tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa pemanasan adalah fase peralihan seseorang dari gerakan umum menjadi gerakan tertentu.

Manfaat gerakan pemanasan diantaranya:

Menyiapkan organ-organ tubuh agar dapat beradaptasi dengan kegiatan yang akan dilaksanakan selanjutnya sehingga tenaga dapat dikerahkan secara maksimal;

Menyiapkan organ saraf agar mampu memastikan kesiapan bagian-bagian tubuh untuk melaksanakan gerakan-gerakan tertentu;

Menyiapkan sisi kejiwaan seseorang untuk memasuki gerakan sesungguhnya dan menghindari pengaruh-pengaruh eksternal yang mendahului pelaksanaan gerakan;

Pemanasan Sebelum Sholat

Ternyata, Allah Subhanahu wa ta’ala pun telah menyiapkan kegiatan pemanasan dan persiapan sebelum seseorang melakukan sholat. Bentuk pemanasan sebelum sholat adalah berjalan atau memperbanyak langkah ketika menuju ke masjid.

Rasulullah sholallaahu ‘alaihi wa sallam mensabdakan tentang hal ini, yang artinya, “Jika kalian mendengar iqomat dikumandangkan, beranjaklah untuk sholat. Berjalanlah dengan tenang dan jangan terburu-buru, ikutilah rakaat yang bisa kamu temui, dan sempurnakanlah rakaat yang tertinggal.” (Riwayat Al-Bukhori)

Inilah bentuk pemanasan bagi fisik dan otot. Hadits tersebut menyeru agar bersegera untuk melaksanakan sholat dan tidak perlu berlari terburu-buru. Hal ini menjadi salah satu bentuk persiapan fisik dengan cara berjalan dengan tenang. Dalam hadits tersebut, Rasulullah sholallaahu ‘alaihi wa sallam menekankan agar gerakan menuju sholat dilakukan secara bertahap, tidak perlu cepat dan terburu-buru karena yang demikian dapat mengakibatkan sebagian otot terkilir atau pecah disebabkan gerakan yang terlalu cepat dan tiba-tiba. Abu Hurairah rodhiyallaahu ‘anhu meriwayatkan hadits lain yang menguatkan hadits sebelumnya, Nabi sholallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang datang lebih dulu ke masjid dan kemudian beristirahat dengan tenang, maka baginya Allah akan menyediakan tempat di surga.” (Riwayat Al-Bukhori)

Persiapan Organ Syaraf

Selain pemanasan fisik dan otot berupa berjalan dengan tenang ke masjid, kita juga perlu mempersiapkan organ-organ syaraf melalui aktivitas wudhu.

Para ahli telah membuktikan pengaruh wudhu terhadap organ-organ syaraf. Dr. Syauqi Ibrahim, salah satu anggota ikatan dokter kerajaan Inggris di London, mengatakan, “Kita telah mengetahui fungsi air untuk kebersihan dan minuman. Akan tetapi, lebih dari itu, ada fungsi-fungsi lain yang bermanfaat bagi kesehtan manusia. Seorang ahli dari Inggris, Arnold Lincoln, telah mengungkapkan bahwa sinar matahari atau cahaya dari manapun datangnya yang mengenai air, dapat membantu produksi ion-ion bermuatan negatif dari molekul-molekul air yang menembus tubuh, serta mengakibatkan otot dan syaraf menjadi santai dan rileks. Selanjutnya hal tersebut dapat menghilangkan perasaan marah, gelisah, tersinggung, lelah, maupun lesu.”

Studi-studi lain mengungkapkan bahwa tetesan air yang jatuh ke kepala dan wajah dapat menghilangkan rasa pusing dan kegelisahan jiwa. Karena itu, para dokter menyarankan agar orang-orang yang terkena insomnia agar mandi air hangat. Para ahli meyakini bahwa air memiliki kekuatan dan pengaruh terhadap otot, syaraf dan suasana kejiwaan seseorang.

Seorang ahli lain, Izzenberg, melakukan penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa tetesan air yang jatuh ke wajah dan bagian tubuh lainnya sudah mencukupi untuk melancarkan sirkulasi darah dan memijit otot-otot. Apa yang dikatakan Izzenberg ini mengandung kebenaran bahwa mandi maupun wudhu dengan air yang bersih dapat menghilangkan rasa marah, tersinggung, dan gelisah yang menimpa seseorang.

Memang, hadits-hadits yang berkaitan dengan jika kita marah, maka kita hendaknya berwudhu berstatus lemah. Walaupun demikian, studi dan penelitian telah menyatakan bahwa tetesan air ke wajah dan tubuh membawa faedah bagi kesegaran fisik dan jiwa. Ini tentu bukan berarti menguatkan hadits yang lemah. Namun ini hanyalah fakta yang diungkapkan Allah subhanahu wa ta’ala lewat penelitian manusia pada zaman sekarang ini.

Sebuah tulisan di harian Al-Ahram, edisi 30/10/1997, menyatakan bahwa, “Dalam wudhu dan sholat terdapat praktik terapi kejiwaan yang melahirkan kelegaan pada otot dan jiwa. Hal itu terjadi lima kali setiap hari. Tidak diragukan lagi, bahwa wudhu dan sholat selain sebagai sarana ibadah seorang hamba kepada Tuhannya, juga mengandung banyak manfaat lain yang dapat menambah keimanan kepada-Nya.”

Allah subhanahu wa ta’ala telah menyiapkan pemanasan dan persiapan bagi jasmani dan ruhani sebelum seorang hamba melakukan sholat. Inilah sebagian kecil hikmah berjalan kaki menuju masjid dan berwudhu. Hendaknya seorang hamba memperhatikan syariat yang kadang dianggap remeh ini. Tentu kita melakukannya bagi jiwa dan raga kita, kita melakukannya dengan niat mentaati Allah, dengan niat bahwa semua itu memang disyariatkan Allah kepada kita. Wallahu ‘alam.

~Disalin dari : Majalah El Fata Edisi 03 Volume 7 Tahun 2007 Halaman 72-73~

Read Full Post »

Etika Dalam Bersafar

Hampir semua orang pernah melakukan safar. Namun banyak di antara kita yang tidak memahami etika dalam melakukan safar. Karenanya, banyak dari kalangan masyarakat islam yang melanggar aturan-aturan syariat islam yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Pelanggaran tersebut paling banyak dilakukan oleh kaum hawa. Contohnya, sering kali mereka bersafar tanpa didampingi mahrom-mahrom mereka, sehingga sering pula terjadi kasus pelecehan seksual terhadap kaum wanita yang secara kebetulan melakukan perjalanan jauh. Salah satu penyebabnya, karena banyak pula kaum pria (yang kurang mengenal etika islam) yang berbuat usil. Alhasil, banyak kaum hawa tidak merasa aman saat melakukan perjalanan tersebut.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Terkadang, pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering terlintas di benak kita. Kita sering mencari sebab musababnya. Ternyata tanpa kita sadari, penyebab utamanya adalah karena kita telah melanggar hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, saat hendak, sedang dan telah bersafar.

Kaum hawa adalah kaum yang lemah dan butuh perlindungan. Namun perlindungan yang diharapkan itu tentu bukanlah dari laki-laki kuat dan perkasa, yang bukan tergolong mahrom bagi mereka. Perlindungan itu, setelah dari Allah yang Maha Perkasa, bisa didapat dari para mahrom mereka, kemana pun mereka melakukan safar.

Sebagai seorang muslim, masing-masing kita menyadari bahwa agama kita telah mengatur semua itu agar tidak terjadi hal-hal buruk yang tidak diharapkan oleh semua anggota masyarakat. Meski demikian, para wanita jangan merasa tersudutkan karena langkah mereka terbatasi. Hal itu karena islam sangat menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat mereka.

Allah telah berfirman, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu…” (Al Ahzab : 33).

Perintah tersebut sebagai solusi untuk penyelamatan dan menjaga kehormatan mereka. Kaum hawa dilarang keluar rumah dengan berdandan seperti halnya yang dilakukan orang-orang jahiliyah pada zaman dahulu. Hal itu karena mereka tidak memiliki ilmu dan aturan agama. Larangan Allah dalam firman-Nya itu mengandung solusi untuk penyelamatan diri dari segala bentuk kejahatan.

Solusi terbaik untuk menjaga kehormatan para wanita itu adalah dengan menetap di rumah. Dan apabila hendak melakukan safar, maka ia harus didampingi mahromnya sendiri, bukan mahrom pinjaman. Sebagaimana dilakukan sebagian wanita yang bersafar saat menunaikan ibadah haji tanpa didampingi suami-suami mereka. Dia beralasan bahwa ia cukup menggunakan mahrom seorang laki-laki yang sudah lama dikenalnya. Hal itu adalah kekeliruan yang amat fatal.

Lanjutan ayat di atas menyebutkan bahwa Allah ingin menghilangkan dosa-dosa mereka. Namun mereka tidak peduli dengan dosa-dosa mereka itu. Bagi wanita yang sudah bersuami, maka dosa yang paling besar ditanggung sang suami, jika ia rela akan hal itu. Namun jika ia seorang yang masih gadis, dan mahromnya ada, maka dosa yang paling besar ditanggung oleh mahromnya tersebut.

Berdasarkan sabda Rasulullah sholallaahu ‘alaihi wa sallam, “Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang kamu pimpin.” (Riwayat Bukhori)

Di antara kaum hawa yang sering melanggar syariat adalah yang berkecimpung dalam perdagangan, pendidikan, dan para pegawai, pada  umumnya adalah wanita karir. Mereka ini sering melakukan safar seorang diri tanpa dibarengi mahrom-mahrom mereka.

~Disalin dari : Majalah Nikah Vol. 5, No. 10 Januari 2007/Dzulhijah 1427~

Read Full Post »

Rasulullaah sholallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Luruskanlah shaf karena meluruskan shaf adalah termasuk bagian dari kesempurnaan sholat.”

Kita sering mendengar hadits ini diucapkan seorang imam ketika hendak memimpin sholat berjama’ah. Meluruskan dan merapatkan shaf memang menjadi suatu hal yang penting dalam sholat. Rasulullaah sholallaahu ‘alaihi wa sallam sangat memberi perhatian terhadap masalah ini. Banyak sekali hadits-hadits yang meriwayatkan tentangnya. Sebagian dari hadits-hadits tersebut menceritakan pula bagaimana cara seseorang harus meluruskan dan merapatkan shaf ketika sholat berjama’ah.

Anas rodhiyallaahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullaah sholallaahu ‘alaihi wa sallam, “Luruskanlah shaf sesungguhnya aku melihat kalian yang berdiri di belakangku. Rapatkan pundak yang satu dengan pundak sebelahnya. Begitu pula kedua telapak kaki keduanya.”

Riwayat dari Nu’man bin Basyir lebih menjelaskan hal ini, “Sebelum memulai shalat, Rasulullaah sholallaahu ‘alaihi wa sallam selalu berpaling ke arah kami dan berkata, “Luruskanlah shaf! Luruskanlah shaf! Luruskanlah shaf! Demi Allah, kalian sungguh akan meluruskan shaf atau Allah akan menjadikan hati kalian berselisih.”

Nu’man berkata, “Setelah itu, sungguh aku melihat para sahabat saling merapatkan pundak dan mata kaki di antara mereka.”

Allah subhanahu wa ta’ala menyingkap sedikit hikmah dari masalah meluruskan dan merapatkan shaf ini. Penelitian di bidang kesehatan mengungkapkan manfaat posisi meluruskan dan merapatkan shaf terhadap kesehatan tulang kaki.

Ketika seseorang merapatkan telapak kaki dan pundah dalam shaf, ia menyejajarkan antara posisi dua telapak kaki dan dua pundak. Dengan kata lain, jarak antara kedua telapak kaki adalah sekitar luas dada kita.

Ukuran kerenggangan kedua telapak kaki seluas dada kita adalah ukuran ideal untuk mendapatkan keseimbangan tubuh manusia. Jika seseorang bertumpu hanya pada satu kaki maka keseimbangannya lemah. Tapi, kalau bertumpu pada dua telapak kaki yang dirapatkan, keseimbangan menjadi sedikit bertambah dan seterusnya. Secara bertahap, keseimbangan akan terus bertambah hingga mencapai keseimbangan sempurna ketika jarak kedua telapak kaki sejajar dengan kedua pundak. Semakin lebar jarak dua telapak kaki dan melebihi kesejajarannya dengan pundak maka secara perlahan akan semakin lemah pula keseimbangan tubuh seseorang.

Merapatkan pundak dengan pundak lainnya akan membuat seseorang mampu mengontrol setiap gerakan tubuhnya. Merapatkan pundak yang satu dengan yang lainnya dapat menjamin titik tumpu seseorang tetap pada dua kaki secara seimbang. Sekaligus juga menjauhi larangan Rasulullaah yaitu bertumpu pada satu kaki atau merapatkan dua kaki dalam sholat.

Mengapa Rasulullaah sholallaahu ‘alaihi wa sallam melarang bertumpu hanya pada satu kaki atau merapatkan dua kaki? Keistimewaan di balik larangan tersebut adalah karena bertumpu pada satu kaki akan menyebabkan tulang pinggul miring ke sisi yang lain. Bila hal ini terjadi dalam waktu yang cukup lama dan sering, salah satu kaki akan terasa sedikit lebih panjang dari yang lainnya. Akibat lainnya adalah terjadi lengkungan baru pada sisi tulung punggung.

Dengan demikian, merapatkan kaki dan pundak antara seseorang dengan yang lainnya, dapat membagi berat tubuh secara rata pada dua kaki. Karena itu, tulang pinggul yang bertumpu pada dua kaki akan sejajar. Hal ini mencegah tulang pinggul tidak miring ke kiri atau ke kanan.

Jika terdapat tulang yang miring akibat dari kebiasaan berdiri atau berjalan yang salah yang bukan karena penyakit polio atau cacat, merapatkan pundak dan kaki dalam shaf akan memperkuat titik tumpu pada kedua kaki secara merata. Tidak itu saja, apabila hal ini dilakukan secara terus-menerus, dapat menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut maupun penyakit-penyakit lain yang biasanya menyertainya seperti miringnya lengkungan tulang punggung.

Ketika beberapa orang saling merapatkan kaki secara otomatis mata kakinya juga saling menempel, maka kedua kaki ini akan menjadi lurus dan sejajar. Tidak ada lagi kaki yang menekuk ke dalam atau keluar. Karena waktu yang diperlukan pada waktu berdiri dalam sholat umumnya lama, maka sholat dapat menjadi terapi bagi penyakit kaki seperti yang cenderung menekuk ke luar atau ke dalam.

Untuk meluruskan shaf, jari-jari kaki harus berada pada posisi sejajar dalam satu garis lurus. Pada posisi ini, tulang pinggul menjadi sejajar secara sempurna, tidak akan terjadi pembengkokan pada salah satu sisinya. Meskipun terjadi pembengkokan maka dengan waktu sholat yang cukup lama dan dilakukan secara teratur serta terus-menerus, bengkokan itu akan kembali seperti semula.

Merapatkan pundak dan mata kaki menggambarkan bahwa sholat dilakukan dengan bertumpu pada sisi luar kaki yang keras dan pada tumitnya. Posisi ini dapat mengurangi beban berat tubuh agar tidak bertumpu seluruhnya hanya pada ujung urat bawah kaki bagian dalam. Dengan begitu, meskipun berdiri dalam jangka waktu yang lama, lekukan kaki tetap terjaga. Bila lekukan kaki terjaga, organ lainnya pun akan terlindungi seperti jaringan pembuluh darah dan saraf yang merupakan saluran instruksi saraf otak ke jari-jari kaki. Lekukan kaki juga menahan agar otak tidak terguncang ketika seseorang melompat dari tempat tinggi yang membuat benturan keras antara anggota tubuh dengan tanah.

Demikianlah. Di balik permasalahan meluruskan dan merapatkan shaf terdapat manfaat yang sangat besar dalam masalah kesehatan kaki. Tentu, kita melaksanakan perintah Rasulullaah untuk meluruskan dan merapatkan shaf bukan karena ingin kaki kita sehat. Kita melakukannya karena ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Disalin dari : Majalah El Fata Edisi 04 Volume 7 Tahun 2007 Halaman 72-72.

Read Full Post »

“Aku tinggalkan padamu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan sunnahku. Tidak akan bercerai-berai keduanya hingga keduanya mengantarku ke Al-Haudh (telaga Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam di surga).”

(Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini di Shahihul-Jami’)

Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dasar dari Islam. Semua praktek ibadah dan keyakinan haruslah bersumber dari keduanya. Bersandar kepada keduanya merupakan jalan keselamatan dari kesesatan dan penyimpangan.

Pada hari ini, yang berjarak sekitar 1500 tahun dari masa nabi terakhir, kita melihat umat Islam dari masa nabi terakhir, kita melihat umat Islam terbagi menjadi bermacam-macam paham, madzhab, kelompok, dan organisasi pergerakan. Semuanya mengaku berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, padahal kenyataannya tiap kelompok mempunyai karakter pemahaman yang berbeda-beda, bahkan bisa jadi satu kelompok dengan kelompok yang lain berlawanan 180 derajat.

Realita ini menyisakan masalah pelik bagi orang yang ingin berjalan di atas jalan Islam dengan benar. Manakah pemahaman yang harus dipilih? Manakah jalan pemahaman yang benar-benar berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits? Apakah semua pemahaman itu berdasar kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits namun hanya penafsirannya yang berbeda? Apakah penafsiran yang berbeda diperbolehkan?

MASALAH PEMAHAMAN

Meniti jalan keselamatan selain berdasar pada Al-Qur’an dan Al-Hadits masih harus juga berdasar pada pemahaman yang benar akan Al-Qur’an dan Al-Hadits itu sendiri. Pemahaman yang tidak benar akan mengakibatkan penyimpangan. Beberapa aliran sesat yang ada saat ini bermula karena pemahaman yang keliru akan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Lalu, yang manakah pemahaman yang benar tersebut?

Pemahaman yang benar adalah pemahaman Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan sahabat beliau. Kewajiban mengikuti Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam sudah menjadi aksioma kaum muslimin yang tak dapat ditawar ataupun dibantah. Sesungguhnya, demikian pula dengan mengikuti para sahabat Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam. Keselamatan bagi orang yang mengikuti jalan mereka telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam. Allah berfirman,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah : 100)

Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku (yaitu para sahabat Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam), kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah mereka.” (Riwayat Al-Bukhori).

Secara akal, masuk akal juga mengapa kita diharuskan mengikuti pemahaman para sahabat Rasulullaah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam. Para sahabat Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam merupakan orang yang pertama kali mendengar Islam dari sumbernya, Islam yang masih murni bersih tiada dicampuri penyimpangan apa pun. Mereka mendengar Islam dari pembawanya sendiri. Mereka melihat sendiri amalan Sang Pembawa Risalah, Rasulullah Muhammad Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam. Jika mereka salah dalam amal atau keyakinan, Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam sendiri yang akan mengkoreksi mereka.

Inilah salah satu unsur yang penting dalam meniti jalan keselamatan, yaitu mengikuti pemahaman para sahabat Rasulullah dalam segala hal di dalam agama Islam.

ISTILAH SALAFUS SHALIH

Tiga generasi pertama Islam itulah yang disebut sebagai salaf. Secara bahasa, salaf adalah pendahulu. Jika dilihat secara istilah, maka maknanya adalah tiga generasi awal Islam, yaitu sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Penyebutan salaf sering dikaitkan dengan kata ash-shalih sehingga menjadi salafus shalih. Hal ini dikarenakan tidak semua orang pada tiga zaman itu mengikuti jalan para sahabat mengingat sudah ada penyimpangan-penyimpangan pada zaman tersebut.

Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam bukunya, Limadzaa Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafi, “Oleh karena itu, kata As-Salaf telah mengambil makna istilah ini dan tidak lebih dari itu. Adapun dari sisi periodisasi (perkembangan zaman), maka dia dipergunakan untuk menunjukkan generasi terbaik dan yang paling benar untuk dicontoh dan diikuti, yaitu tiga generasi pertama yang telah dipersaksikan dari lisan sebaik-baiknya manusia Muhammad Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam bahwa mereka memiliki keutamaan dengan sabdanya,

‘Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi kemudian datang kaum yang syahadahnya salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului syahadahnya.’

Akan tetapi periodisasi ini kurang sempurna untuk membatasi pengertian salaf ketika kita lihat banyak dari kelompok-kelompok sesat telah muncul pada zaman-zaman tersebut, oleh karena itu keberadaan seseorang pada zaman tersebut tidaklah cukup untuk menghukum keberadaannya di atas manhaj salaf kalau tidak sesuai dengan para sahabat dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah. Oleh karena itu para ulama mengkaitkan istilah ini dengan As-Salaf Ash-Shalih.

Dengan demikian jika disebut kata pemahaman salafus-shalih maka yang dimaksudkan adalah pemahaman Rasulullaah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabatnya Rodhiyallaahu ‘anhum.

AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH?

Istilah salafus shalih pada hakekatnya semakna dengan istilah ahlus sunnah wal jama’ah. Menurut ulama ‘aqidah, as-sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Seorang ulama, Ibn Rajab Al-Hanbaly berkata, “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry, Imam al-Auza’iy dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh.”

Pengertian jama’ah secara syariat sendiri ada beberapa. Namun, kesimpulannya ada dua. Pertama, ia disebut Al-Jama’ah apabila bersepakat dalam hal memilih dan menaati seorang pemimpin yang sesuai dengan ketentuan syariat. Kedua, Al-Jama’ah adalah jalan yang ditempuh oleh ahlu sunnah yang meninggalkan segala macam bid’ah. Singkat kata adalah orang  yang mengikuti jalan hidup Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabatnya, baik sedikit maupun banyak, sesuai keadaan umat serta perbedaan zaman dan tempat. Sahabat Nabi mendapat tempat tertentu yang mulia sehubungan dengan makna ini. Menurut ulama aqidah, Al-Jama’ah sendiri adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan sahabat, tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.

Kesimpulannya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabat beliau ridwanullah ‘alaihim ajma’in serta menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama. Dan makna ini tidaklah bertentangan dengan istilah salafus shalih.

PEMBAWA KEBENARAN

Metode sahabat Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dalam memahami dan mengamalkan Islam terus dipegang oleh murid-murid para sahabat, yaitu para tabi’in. Mereka, para tabi’in, juga meneruskan metode beragama yang lurus ini kepada murid mereka, para tabi’ut tabi’in. Hingga pemahaman dan pengamalan Islam yang lurus ini terus dibawa oleh ulama-ulama terpercaya sepanjang zaman.

Ulama-ulama besar yang kita kenal nama-nama mereka dan kisah-kisah mereka selama ini adalah orang-orang yang mengusung panji-panji jalan kebenaran ini. Di antara mereka adalah para penyusun kitab hadits seperti Imam Al-Bukhori, Imam Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i, Al-Hakim, dan lain-lainnya. Di antara mereka adalah imam empat madzhab yaitu Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, Malik bin Anas, dan Asy-Syafi’i. Di antara mereka adalah nama-nama terkenal seperti Hasan al-Bashri, Fudhail bin Iyadh, Sufyan Ats-Tsauri. Termasuk dalam mereka adalah ulama besar Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah, dan murid-murid beliau seperti Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dan Ibnu Katsir. Termasuk dalam kalangan ini adalah mujaddid dari Najd, yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Pada masa kita ini, kita mengenal nama-nama besar seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Muqbil, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad, Syaikh Muhammad bin Jamil Az-Zainu, Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, dan lain-lainnya. Mereka inilah yang terkenal di masa kini membimbing umat kepada jalan selamat ini, kepada pemahaman salafus shalih.

Pembimbing manusia kepada jalan kebenaran, jalan Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabat, ini tak akan pernah sirna. Allah telah berjanji akan selalu menampakkan ulama-ulama pembela kebenaran pembimbing umat ini pada setiap masa.

Selamat dunia akhirat adalah dambaan setiap muslim. Selamat dalam hal amal adalah dengan ikhlas dan ittiba’. Termasuk unsur selamat dunia akhirat adalah berislam sebagaimana Islamnya Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabat beliau.

Disalin dari : Majalah El Fata Nomor 10 Volume 6 Tahun 2006 Hal. 18-20

Read Full Post »

Seputar Gerakan Sholat

Sholat, sebagaimana perkataan Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa salaam merupakan pilar agama ini. Sebegitu pentingnya sholat, hingga tidak heran ia menjadi parameter seluruh amalan seorang Muslim. Namun, sadarkah bahwa kita belum sepenuhnya memahami setiap celah dan sisi yang berkaitan dengan sholat? Pernahkan terbetrik dalam benak kita bahwa sholat kita seluruhnya telah benar? Yang pasti upaya untuk mencari kebenaran mesti tetap kita upayakan. Salah satunya kita harus mengetahui permasalahan-permasalahan penting berkaitan dengannya.


Di sini kita akan sedikit ‘melirik’ satu permasalahan yang kelihatannya begitu remeh, namun sejatinya begitu penting disimak. Yakni seputar gerakan yang dilakukan seseorang dalam sholatnya.


Gerakan Dalam Sholat

Maksud dari gerakan di sini bukan gerakan-gerakan yang sudah ada pada sholat yang memang telah diperintahkan. Yakni dari satu gerakan ke gerakan yang lain, seperti dari berdiri, lalu ruku’ kemudian sujud, menggerakkan jari (terlepas dari perbedaan pendapat tentangnya), dan seterusnya.

Namun, yang dimaksud adalah gerakan di luar gerakan sholat, baik yang dilakukan karena ada kebutuhan yang bersifat darurat atau pun tidak.


Hukumnya

Secara hukum, gerakan ini adalah makruh kecuali apabila memang ada keperluan atau karena kondisi darurat. Gerakan ini dapat dibagi menjadi 5 kategori;


Gerakan Wajib

Gerakan ini sangat terkait dengan keabsahan dan berpengaruh sekali terhadap sholat.

Sebagai contohnya, bila seseorang merasakan ada najis pada imamah (sorban), kopiah, atau lainnya yang dia pakai di kepala, maka ketika itu dia wajib bergerak untuk menghilangkan najis tersebut dengan mencopot sorban ataupun kopiahnya.

Atau bila seseorang memberitahukan orang yang sedang sholat, bahwa dia salah menghadap kiblat, maka ketika itu dia wajib bergerak ke arah kiblat.


Landasan Hukum

Sebuah riwayat yang menyebutkan, “Suatu kali Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam didatangi oleh Malaikat Jibril saat beliau sedang sholat mengimami manusia, lalu Malaikat Jibril memberitahu kepada beliau perihal adanya kotoran (najis) di kedua sandalnya, beliau langsung mencopotnya meski beliau masih dalam keadaan sholat, lalu beliaupun melanjutkan sholatnya hingga selesai.” (Riwayat Abu Dawud)

Kasus lain juga menunjukkan, suatu ketika, pada saat orang-orang sedang melaksanakan sholat subuh di Masjid Quba’, sekonyong-konyong datang seorang utusan yang berteriak lantang kepada mereka, “Sesungguhnya al-Qur’an telah diturunkan kepada Nabi sholallaahu ‘alaihi wa sallaam pada malam ini dan beliau diperintahkan agar menghadap ke arah kiblat (ka’bah). Karenanya, menghadaplah kalian ke sana!” Lalu mereka pun beralih posisi dari arah sebelumnya dengan menghadap ke arah Ka’bah.” (Muttafaqun ‘alaih)


Gerakan yang Diharamkan

Masuk dalam kriteria gerakan ini adalah gerakan yang banyak dan berturut-turut tanpa ada keperluan yang melatarinya atau dalam kondisi darurat, sebab gerakan seperti ini akan membatalkan sholat. Dan perlu dicatat sesuatu yang membatalkan sholat, tidak boleh dilakukan.


Gerakan yang Dianjurkan

Maksud dari gerakan ini adalah yang dianjurkan melakukannya di dalam sholat atau menjadi penyempurnaannya.

Contohnya adalah gerakan seseorang menyamaratakan shaf, atau karena melihat ada celah shaf di depannya kemudian dia melangkah ke depan untuk mengisinya. Demikian pula gerakan seseorang menarik orang yang disampingnya untuk menutupi celah pada shaf, karena ada salah seorang makmum yang batal wudlu’nya sehingga berkurang dan bercelah.

Kaidah yang patut diperhatikan dalam jenis gerakan ini adalah bahwa dengan gerakan tersebut, terjadilah amalan yang dianjurkan dalam sholat untuk tujuan menyempurnakannya.


Dasar Hukum

Ketika Ibn ‘Abbas rodhiyallaahu ‘anhu melakukan sholat bersama Nabi sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan dia berada di sebelah kiri beliau, maka Beliau sholallaahu ‘alaihi wa sallaam langsung menarik kepala anak sepupunya tersebut dari arah belakang dan menggesernya, sehingga berada di sebelah kanan beliau. (Muttafaqun ‘alaih)


Gerakan yang Dibolehkan

Yaitu gerakan yang ringan karena ada keperluan atau gerakan yang banyak karena kondisi darurat.


Contoh Gerakan Yang Ringan Karena Ada Keperluan

Tindakan Nabi sholallaahu ‘alaihi wa sallaam ketika sholat dalam keadaan menggendong Umamah (cucu beliau dari Zainab), yakni saat berdiri; beliau menggendongnya dan saat sujud, beliau meletakkannya lagi. (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).


Contoh Gerakan Yang Banyak Karena Darurat

Gerakan ini sebagaimana disinyalir dalam firman-Nya yang menerangkan tentang kaum khauf, “Peliharalah sholat-sholat(mu), dan (peliharalah) sholat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam sholatmu) dengan khusyu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka sholatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (sholatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kau ketahui.” (Al-Baqoroh: 238-239)

Dalam praktik sholat tersebut, sholat dilakukan sembari berjalan atau berkendaraan ketika dalam keadaan darurat/mendesak sekali.


Gerakan Yang Dimakruhkan

Yaitu gerakan selain yang disebutkan di atas alias gerakan yang sedikit tetapi tidak dibutuhkan dan tidak terkait dengan kesempurnaan sholat. Inilah hukum asal pada gerakan di dalam sholat yang dimaksud dalam pembahasan ini.

Contohnya adalah kebiasaan melihat ke arah jam tangan, membolak-balikkan kopiah, memegangi hidung terus padahal tidak gatal atau sedang pilek, mengelus-elus jenggot dan sebagainya. Gerakan ini semestinya ditinggalkan.


Tidak Terbatas

Tidak ada jumlah tertentu yang dapat dijadikan sebagai standar yang mengatakan apabila melakukan gerakan hingga melewati jumlah tersebut, sholat menjadi batal. Yang jelas, patokannya adalah seberapa jauh gerakan itu mempengaruhi sholat; bila ia menafikan gerakan sholat, seperti bila seseorang terlihat seakan bukan dalam kondisi sholat, maka ini membatalkannya.

Karenanya, para ulama memberikan batasannya sesuai dengan standar adat atau tradisi yang berlaku. Mereka berkata, “Sesungguhnya, bila gerakan-gerakan tersebut banyak dan berturut-turut, maka ia membatalkan sholat”. Dalam hal ini, tanpa menyebutkan jumlah tertentu.

Sehingga batasan dengan tiga kali gerakan saja yang diberikan oleh sebagian ulama perlu diperkuat dengan dalil sehingga dapat dijadikan hujjah sebab siapa saja yang telah membatasi sesuatu dengan jumlah tertentu, tata cara tertentu, dia perlu memperkuatnya dengan dalil.


Bicara Dalam Sholat

Rasulullaah sholallaahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “Sesungguhnya sesuatu yang berupa pembicaraan manusia tidak pantas dilakukan di dalam sholat. Yang pantas, hanyalah takbir; tasbih dan bacaan al-Qur’an.” (Riwayat Muslim)

Hadits tersebut merupakan penggalan hadits panjang mengenai kisah seorang shahabat yang bernama Mu’awiyah bin al-Hakam yang ketika dia datang ke masjid, sedangkan Nabi dan para shahabatnya sedang sholat. Ketika itu, ada seorang yang bersin, lalu dia mengucapkan, “alhamdulillaah”. Kemudian Mu’awiyah menimpali Yarhamukallaah”. Namun orang-orang di sekitarnya seakan memelotinya. Dia kemudian bergumam, “Aduh, celaka!” Akhirnya orang-orang memukuli paha-paha mereka sebagai isyarat supaya diam. Lalu diamlah dia. Seusai sholat, Nabi sholallaahu ‘alaihi wa sallaam memanggilnya, lalu bersabda sebagaimana di atas.


Menjawab Salam dalam Sholat

Rasulullaah sholallaahu ‘alaihi wa sallaam telah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk menebar salam di antara mereka. Kapanpun mereka bertemu, di luar maupun di dalam masjid. Bahkan sebuah hadits menunjukkan penekanan untuk menyebarkan salam kepada sesama, baik di dalam sholat maupun di luar sholat.

Ibnu Umar mengisahkan, “Rasulullaah sholallaahu ‘alaihi wa sallaam keluar ke masjid Quba untuk melakukan sholat. Kemudian orang-orang dari kalangan Anshar datang dan memberi salam kepada beliau sedangkan beliau dalam keadaan sholat.”

Ibnu Umar melanjutkan, “Aku bertanya kepada Bilal, “Bagaimana Kamu melihat Rasulullaah sholallaahu ‘alaihi wa sallaam menjawab salam tatkala mereka mengucapkan salam kepada beliau sedangkan beliau sedang sholat?”

Bilal menjawab, “Beliau berkata begini (sambil membentangkan telapak tangannya)…” (Riwayat Abud Daud, Ahmad)

Maksud dari membentangkan telapak tangan di sini adalah menjawab dengan isyarat tangan. Allaahua’lam bi Ash showab. (Abu Azzam. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimiin, Akhta’ Al mushallin, Syaikh masyhur Hasan salman)


Dikutip dari : Majalah El-Fata Edisi 01 Volume 7 Tahun 2007

Read Full Post »