Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Maret 5th, 2009

“Aku tinggalkan padamu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan sunnahku. Tidak akan bercerai-berai keduanya hingga keduanya mengantarku ke Al-Haudh (telaga Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam di surga).”

(Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini di Shahihul-Jami’)

Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dasar dari Islam. Semua praktek ibadah dan keyakinan haruslah bersumber dari keduanya. Bersandar kepada keduanya merupakan jalan keselamatan dari kesesatan dan penyimpangan.

Pada hari ini, yang berjarak sekitar 1500 tahun dari masa nabi terakhir, kita melihat umat Islam dari masa nabi terakhir, kita melihat umat Islam terbagi menjadi bermacam-macam paham, madzhab, kelompok, dan organisasi pergerakan. Semuanya mengaku berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, padahal kenyataannya tiap kelompok mempunyai karakter pemahaman yang berbeda-beda, bahkan bisa jadi satu kelompok dengan kelompok yang lain berlawanan 180 derajat.

Realita ini menyisakan masalah pelik bagi orang yang ingin berjalan di atas jalan Islam dengan benar. Manakah pemahaman yang harus dipilih? Manakah jalan pemahaman yang benar-benar berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits? Apakah semua pemahaman itu berdasar kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits namun hanya penafsirannya yang berbeda? Apakah penafsiran yang berbeda diperbolehkan?

MASALAH PEMAHAMAN

Meniti jalan keselamatan selain berdasar pada Al-Qur’an dan Al-Hadits masih harus juga berdasar pada pemahaman yang benar akan Al-Qur’an dan Al-Hadits itu sendiri. Pemahaman yang tidak benar akan mengakibatkan penyimpangan. Beberapa aliran sesat yang ada saat ini bermula karena pemahaman yang keliru akan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Lalu, yang manakah pemahaman yang benar tersebut?

Pemahaman yang benar adalah pemahaman Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan sahabat beliau. Kewajiban mengikuti Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam sudah menjadi aksioma kaum muslimin yang tak dapat ditawar ataupun dibantah. Sesungguhnya, demikian pula dengan mengikuti para sahabat Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam. Keselamatan bagi orang yang mengikuti jalan mereka telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam. Allah berfirman,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah : 100)

Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku (yaitu para sahabat Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam), kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah mereka.” (Riwayat Al-Bukhori).

Secara akal, masuk akal juga mengapa kita diharuskan mengikuti pemahaman para sahabat Rasulullaah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam. Para sahabat Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam merupakan orang yang pertama kali mendengar Islam dari sumbernya, Islam yang masih murni bersih tiada dicampuri penyimpangan apa pun. Mereka mendengar Islam dari pembawanya sendiri. Mereka melihat sendiri amalan Sang Pembawa Risalah, Rasulullah Muhammad Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam. Jika mereka salah dalam amal atau keyakinan, Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam sendiri yang akan mengkoreksi mereka.

Inilah salah satu unsur yang penting dalam meniti jalan keselamatan, yaitu mengikuti pemahaman para sahabat Rasulullah dalam segala hal di dalam agama Islam.

ISTILAH SALAFUS SHALIH

Tiga generasi pertama Islam itulah yang disebut sebagai salaf. Secara bahasa, salaf adalah pendahulu. Jika dilihat secara istilah, maka maknanya adalah tiga generasi awal Islam, yaitu sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Penyebutan salaf sering dikaitkan dengan kata ash-shalih sehingga menjadi salafus shalih. Hal ini dikarenakan tidak semua orang pada tiga zaman itu mengikuti jalan para sahabat mengingat sudah ada penyimpangan-penyimpangan pada zaman tersebut.

Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam bukunya, Limadzaa Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafi, “Oleh karena itu, kata As-Salaf telah mengambil makna istilah ini dan tidak lebih dari itu. Adapun dari sisi periodisasi (perkembangan zaman), maka dia dipergunakan untuk menunjukkan generasi terbaik dan yang paling benar untuk dicontoh dan diikuti, yaitu tiga generasi pertama yang telah dipersaksikan dari lisan sebaik-baiknya manusia Muhammad Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam bahwa mereka memiliki keutamaan dengan sabdanya,

‘Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi kemudian datang kaum yang syahadahnya salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului syahadahnya.’

Akan tetapi periodisasi ini kurang sempurna untuk membatasi pengertian salaf ketika kita lihat banyak dari kelompok-kelompok sesat telah muncul pada zaman-zaman tersebut, oleh karena itu keberadaan seseorang pada zaman tersebut tidaklah cukup untuk menghukum keberadaannya di atas manhaj salaf kalau tidak sesuai dengan para sahabat dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah. Oleh karena itu para ulama mengkaitkan istilah ini dengan As-Salaf Ash-Shalih.

Dengan demikian jika disebut kata pemahaman salafus-shalih maka yang dimaksudkan adalah pemahaman Rasulullaah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabatnya Rodhiyallaahu ‘anhum.

AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH?

Istilah salafus shalih pada hakekatnya semakna dengan istilah ahlus sunnah wal jama’ah. Menurut ulama ‘aqidah, as-sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Seorang ulama, Ibn Rajab Al-Hanbaly berkata, “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry, Imam al-Auza’iy dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh.”

Pengertian jama’ah secara syariat sendiri ada beberapa. Namun, kesimpulannya ada dua. Pertama, ia disebut Al-Jama’ah apabila bersepakat dalam hal memilih dan menaati seorang pemimpin yang sesuai dengan ketentuan syariat. Kedua, Al-Jama’ah adalah jalan yang ditempuh oleh ahlu sunnah yang meninggalkan segala macam bid’ah. Singkat kata adalah orangĀ  yang mengikuti jalan hidup Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabatnya, baik sedikit maupun banyak, sesuai keadaan umat serta perbedaan zaman dan tempat. Sahabat Nabi mendapat tempat tertentu yang mulia sehubungan dengan makna ini. Menurut ulama aqidah, Al-Jama’ah sendiri adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan sahabat, tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.

Kesimpulannya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabat beliau ridwanullah ‘alaihim ajma’in serta menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama. Dan makna ini tidaklah bertentangan dengan istilah salafus shalih.

PEMBAWA KEBENARAN

Metode sahabat Nabi Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dalam memahami dan mengamalkan Islam terus dipegang oleh murid-murid para sahabat, yaitu para tabi’in. Mereka, para tabi’in, juga meneruskan metode beragama yang lurus ini kepada murid mereka, para tabi’ut tabi’in. Hingga pemahaman dan pengamalan Islam yang lurus ini terus dibawa oleh ulama-ulama terpercaya sepanjang zaman.

Ulama-ulama besar yang kita kenal nama-nama mereka dan kisah-kisah mereka selama ini adalah orang-orang yang mengusung panji-panji jalan kebenaran ini. Di antara mereka adalah para penyusun kitab hadits seperti Imam Al-Bukhori, Imam Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i, Al-Hakim, dan lain-lainnya. Di antara mereka adalah imam empat madzhab yaitu Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, Malik bin Anas, dan Asy-Syafi’i. Di antara mereka adalah nama-nama terkenal seperti Hasan al-Bashri, Fudhail bin Iyadh, Sufyan Ats-Tsauri. Termasuk dalam mereka adalah ulama besar Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah, dan murid-murid beliau seperti Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dan Ibnu Katsir. Termasuk dalam kalangan ini adalah mujaddid dari Najd, yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Pada masa kita ini, kita mengenal nama-nama besar seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Muqbil, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad, Syaikh Muhammad bin Jamil Az-Zainu, Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, dan lain-lainnya. Mereka inilah yang terkenal di masa kini membimbing umat kepada jalan selamat ini, kepada pemahaman salafus shalih.

Pembimbing manusia kepada jalan kebenaran, jalan Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabat, ini tak akan pernah sirna. Allah telah berjanji akan selalu menampakkan ulama-ulama pembela kebenaran pembimbing umat ini pada setiap masa.

Selamat dunia akhirat adalah dambaan setiap muslim. Selamat dalam hal amal adalah dengan ikhlas dan ittiba’. Termasuk unsur selamat dunia akhirat adalah berislam sebagaimana Islamnya Rasulullah Sholallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para sahabat beliau.

Disalin dari : Majalah El Fata Nomor 10 Volume 6 Tahun 2006 Hal. 18-20

Read Full Post »